Wednesday, December 12, 2018

Makalah Tindak Pidana Pemilu

title

Oleh :

PETRUS HABA PAU 1311600038

INDAH NOVITASARI 1311600077

NURINA AYUNINGTYAS 1311600142

RIZKY PRAYOGI PRIBADI 1311600198

HANIEF KURNIAWAN 1311600203

TINDAK PIDANA PEMILU



A. Tindak Pidana Pemilu

Sebelum melakukan kajian secara mendalam mengenai peraturan hukum yang

mengatur tentang tindak pidana pemilu di Indonesia, perlu terlebih dahulu kita pahami apa

yang dimaksud dengan pemilu, serta hal yang berhubungan dengan pemilu itu sendiri.

Berikut adalah sedikit gambaran mengenai pemilu maupun tindak pidana pemilu.

1. Pengertian Pemilu

Pemilu (Pemilihan Umum) adalah sarana pelaksanaan asas kedaulatan

rakyat dalam Negara Republik Indonesia. Pemilu yang dilaksanakan berdasarkan

Demokrasi Pancasila dengan mengadakan pemungutan suara secara langsung,

umum, bebas dan rahasia (Wancik Saleh, Pemilu 1982, Ghalia Indonesia, Jakarta,

1982).

Menurut Ramlan Surbakti, Pemilu diartikan sebagai mekanisme

penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau

partai yang dipercayai (Ramlan Surbakti, Penanganan Pelanggaran Pemilu,

Kemitraan, Kemitraan, 2011).

Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2017, Pemilihan

Umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk

memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, yang dilaksanakan secara langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

Setelah uraian pengertian di atas, maka dapat diketahui bahwa Pemilihan

Umum adalah perwujudan kedaulatan rakyat untuk secara demokratis memilih

pemimpin yang akan membentuk pemerintahan, serta memilih wakil-wakil rakyat

untuk mengawasi jalannya pemerintahan, menyalurkan aspirasi politik rakyat,

membuat undang-undang serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja

Negara.


2. Pengertian Tindak Pidana

Hukum pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang

menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana,

serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang

melakukannya (Sudarto, Hukum Pidana 1, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990).

Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung pengertian

dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran

dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Perbuatan pidana

mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam

lapangan hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang

bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah

yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat (Bambang Poernomo, Asas-

asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980).

Pengertian tindak pidana menurut Wirjono Projodikoro sebenarnya

merupakan istilah resmi dalam Wetboek van Strafrecht atau KUHP, yaitu delict

yang berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana dan

pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana (Wirjono Projodikoro,

Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011).


3. Pengertian Tindak Pidana Pemilu

Dari uraian di atas, jelas apa itu perbuatan/tindak pidana. Namun hanya

dengan pengertian tersebut, belumlah cukup untuk menyimak lebih mendalam hal-

hal yang berkaitan dengan tindak pidana pemilu, baik yang dianggap sebagai suatu

kejahatan maupun pelanggaran.

Rumusan atau definisi tindak pidana pemilu dalam Undang-Undang No. 7

Tahun 2017 tentang Pemilu tidak dijelaskan secara rinci, apa yang dimaksud

dengan tindak pidana. Padahal dalam penyusunan naskah undang-undang hal-hal

yang menyangkut ketentuan umum mestinya diberikan definisi dalam ketentuan-

ketentuan umum di bagian awal.

Pengertian tindak pidana pemilu dalam kepustakaan sebagaimana

dikemukakan oleh Djoko Prakoso, tindak pidana pemilu adalah setiap orang atau

badan hukum ataupun organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum,

mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilihan umum

yang diselenggarakan menurut undang-undang (Djoko Prakoso, Tindak Pidana

Pemilu, Sinar Harapan, Jakarta, 1987). Topo Santoso memberikan definisi tindak

pidana pemilu dalam tiga bentuk meliputi: (Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu,

Sinar Grafika, Jakarta, 2006)

1. Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu

yang diatur di dalam Undang-Undang Pemilu.

2. Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu

(misalnya dalam Undang-Undang Parpol ataupun dalam KUHP).

3. Semua tindak pidana yang terjadi pada saat pemilu (termasuk

pelanggaran lalu lintas, penganiayaan kekerasan, perusakan, dan

sebagainya).



B. Pengaturan Tindak Pidana Pemilu

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Di dalam KUHP Indonesia, terdapat lima pasal yang mengatur mengenai

tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu. Lima pasal yang

terdapat dalam Bab IV Buku Kedua KUHP mengenai tindak pidana “Kejahatan

terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan” adalah:

1. Pasal 148 KUHP (Merintangi orang menjalankan haknya dalam

memilih)

2. Pasal 149 KUHP (Penyuapan)

3. Pasal 150 KUHP (Perbuatan tipu muslihat)

4. Pasal 151 (Mengaku sebagai orang lain)

5. Pasal 152 (Menggagalkan pemungutan suara yang telah dilakukan atau

melakukan tipu muslihat)

Seperti yang telah disebut, ketentuan mengenai tindak pidana pemilu

memang dimuat dalam KUHP mulai dari Pasal 148-152, namun demikian KUHP

merupakan sumber hukum pidana materiil yang hanya mengatur mengenai aspek-

aspek hukum substantif dan tidak mengatur mengenai hukum acara. Di Indonesia

hukum acara pidana diatur diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) atau Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Sebelum berlakunya

KUHAP landasan hukum acara pidana di Indonesia adalah HIR yang merupakan

produk hukum warisan Belanda yang berlaku hinggan tahun 1981. Perlu dicatat

pula bahwa pasal-pasal tindak pidana pemilu di dalam KUHP tidak pernah

diterapkan atas tindak pidana pemilu mengingat ketika pemilu pertama tahun 1955,

sudah ada tindak pidana pemilu yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun

1953. (Topo Santoso, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Grafika, Jakarta, 2006)


2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

Disamping tindak pidana pemilu yang diatur dalam KUHP, juga diatur lebih

rinci dan tegas terhadap tindak pidana pemilu dalam Undang-Undang No. 7 Tahun

2017. Adapun yang mengatur tindak pidana dalam undang-undang ini adalah pada

Buku Kelima mengenai Tindak Pidana Pemilu, dengan perincian sebagai berikut:

 Bab I mengatur mengenai penanganan tindak pidana pemilu

 Bagian Kesatu (Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Pemilu) yaitu

Pasal 476 hingga Pasal 484.

 Bagian Kedua (Majelis Khsus Tindak Pidana Pemilu) yaitu Pasal

485.

 Bagian Ketiga (Sentra Penegakan Hukum Terpadu) yaitu Pasal 486

hingga Pasal 487.

 Bab II mengatur mengenai ketentuan pidana pemilu yang berisi sanksi-

sanksi pidana pemilu, yaitu Pasal 488 hingga Pasal 554.

C. Tindak Pidana Pemilu sebagai Delik Tertentu di Luar KUHP/Delik Administrasi

Seperti yang telah dijelaskan di subbab sebelumya bahwa pengaturan mengenai

tindak pidana pemilu sebenarnya telah disebut dalam KUHP, namun seperti yang kita

ketahui juga, di luar itu terdapat Undang-Undnag No. 7 Tahun 2017 yang serta merta

mengatur perihal Pemilu dengan lebih rinci dan tegas. Dengan diselenggarakannya

pemilihan serentak, maka senantiasa diperlukan perbaikan peraturan perundang-undangan

sebagai refleksi dan dan evaluasi. Berdasarkan kondisi tersebut maka diperlukan perangkat

hukum yang memiliki kekhususan untuk mendukung pelaksanaan pemilu tersebut. Selain

khusus mengatur pelaksanaan pemilu, ketentuan hukum ini juga mengatur mengenai

penanggulangan pelbagai masalah penyelenggaraan pemilu dengan memuat ketentuan

pidana berupa sanksi bagi yang melanggar.

Berkaitan dengan istilah kekhususan, yang melekat pada Undang-Undang Pemilu,

maka perlu dibahas mengenai kualifikasi kekhususan dari Undang-Undang Pemilu ini.

Sudarto menegaskan bahwa, dalam hukum pidana khusus itu terdapat ketentuan-

ketentuan yang menyimpang dari hukum pidana umum, yang menyangkut sekelompok

orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Kekhususan dari hukum pidana militer tidak

dapat disangkal dan tampak jelas. Asas-asas pokok yang terdapat dalam hukum pidana

umum, harus diperhatikan dan penyimpangan itu ada, apabila diperlukan untuk

kepentingan militer atau dalam keadaan khusus dimana angkatan bersenjata itu berada

(Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2006).

Begitu pula halnya dengan undang-undang ‘khusus’ lainnya seperti Undnag-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang secara khusus menyatakan secara

jelas kekhususannya dengan mengidentifikasi dirinya sebagai undang-undang khusus

tindak pidana. Sehingga dapat pula dikatakan, Undang-Undang Pemilu ini bukan hukum

pidana khusus, karena sebenarnya undang-undang ini dikualifikasikan sebagai hukum

administratif, dan apabila ada segi hukum pidananya, itupun bersifat khas, ialah bersifat

administratif. Perluasan dari tugas penguasa (overheid), mengakibatkan makin luas pula

delik-delik seperti ini. Delik-delik ini bisa disebut delik administrasi atau juga delik-delik

tertentu di luar KUHP. Dengan kata lain, undang-undang ini bentuknya adalah perundang-

undangan yang bersifat administrasi; karena khusus menetapkan tujuan pemilu yang

diaturnya, menentukan penggunaan sistem pemilihan, mengatur proses pelaksanaan,

memuat peraturan pelaksanaan atau peraturan teknis, memberikan pedoman dan prosedur

teknis pelaksanaan pemilu. Namun dikualifikasikan sebagai delik tertentu di luar KUHP

karena di dalamnya selain memuat sanksi administratif, juga dimuat ketentuan pidana

berupa ancaman penjara dan denda. Bentuk kekhususan yang sistematis dari asas lex

specialis derogat legi generali; menurut Pasal 63 ayat (2) KUHP.



Source

No comments:

Post a Comment