title
Rancangan Undang-Undang Politik yang akan menjadi payung hukum Pemilu 2009 sedang digodok di parlemen. Pemilu 2009 diprediksi memiliki intensitas konflik dan kompetisi politik yang lebih tinggi dibandingkan Pemilu 2004. Karena itu, diperlukan sejumlah regulasi elektoral yang jelas dan tidak mengandung potensi bias interpretasi yang lebar. Bagaimana perspektif rumusan undang-undang paket politik yang ideal?
Inilah pemikiran Anis Baswedan, 37, intelektual muda lulusan doktor ilmu politik Northern Illinois University.
Rancangan UU Politik memunculkan kontroversial. Celah mana yang harus dibenahi untuk menghadapi Pemilu 2009?
Prinsipnya, tujuan pembentukan undang-undang adalah mengatur para pelaku sesuai dengan apa yang diinginkan publik. Misalnya, undang-undang tentang obat-obatan dirumuskan supaya tidak merugikan publik, demikian pula UU Politik. Bedanya, UU pada umumnya dibuat dan dirumuskan pihak yang tidak diatur undang-undang tersebut. Tetapi, UU Paket Politik dibuat untuk mengatur perilaku para pembuat itu sendiri. Akibatnya, intensitas benturan kepentingan politik sangat tinggi. Untuk itu, partisipasi publik harus diperhatikan. Publik harus terlibat penuh dalam perumusannya.
Apa prinsip mendasar yang harus dipegang dalam UU Politik supaya tidak condong pada kekuatan politik tertentu?
Karakter dasar undang-undang itu harus bisa mengover seluruh aspek kepentingan, baik pribadi maupun kelompok. Selain itu, UU Politik harus bisa menaklukkan pelaku politik, baik politisi maupun kendaraan politiknya (partai, Red). Dengan begitu, dalam setiap upaya mengejar kepentingan pribadi dan kelompoknya, sepak terjang para politisi itu tetap bisa menguntungkan kepentingan publik atau rakyat sebagai konstituennya.
Anda berbicara konsep menaklukkan, bagaimana penjelasan “menaklukkan” itu?
Artinya, aturan itu tidak memberikan celah kepada politisi untuk berbuat semaunya, tanpa mengindahkan kepentingan konstituen. Sistem kerja para politisi tersebut harus dirumuskan dalam aturan supaya setiap langkah (sepragmatis apa pun, Red) tetap menguntungkan rakyat.
Bisa diperjelas lengkap dengan contohnya?
Dalam sistem politik representasi yang bebas seperti sekarang ini, dalam dua tahun pertama para wakil rakyat bisa dengan mudah melupakan janji-janjinya kepada publik tanpa ada kontrol dan tagihan janji dari masyarakat yang diwakilinya. Di sinilah, perlu diatur mekanisme evaluasi di tengah periode kerja. Misalnya, dalam satu tahun pertama, seorang wakil rakyat harus bisa turun ke tingkat bawah dua belas kali. Dia juga harus mengadakan dengar pendapat dan menulis tentang daerahnya dua belas kali. Penerapan patokan-patokan yang jelas semacam itu akan sangat berpengaruh terhadap perubahan perilaku dan akuntabilitas politik sistem representasi kita.
Keputusan politik di DPR sering menimbulkan pro-kontra. Apa sebenarnya yang terjadi menurut Anda?
Tentu ada, penggunaan sistem pengambilan keputusan melalui voting di parlemen secara tertutup merupakan bagian dari kesalahan fatal. Ini lembaga representasi. Kalau saya mewakili diri sendiri, kerahasiaan saya harus dijamin. Tapi, kalau saya mewakili seribu orang, lalu saya merahasiakan sikap dan keputusan politik saya, itu tidak benar. Bagaimana kita bisa mempertanggungjawabkan? Ini bagian dari fakta kekeliruan kita secara fundamental dalam memahami konsep representasi dan konsep konfidensialitas atau kerahasiaan. Jadi, mekanisme pengambilan keputusan secara tertutup di tingkat parlemen itu haram hukumnya. Mereka tidak punya hak untuk merahasiakan karena itu hak representasi. Ke depan, konsep tersebut harus dipertegas di RUU Paket Politik.
Bagaimana menekan aspek pragmatisme sempit yang menyebabkan karakter politik kita menjadi korup?
Kita harus mengatur tentang masalah integrasi antara pasar dan politik. Saat ini, sistem politik Indonesia telah mengalami liberalisasi yang amat pesat. Indikasinya, jumlah partai banyak sekali. Lalu pendanaan partai tidak teregulasi secara jelas. Ke depan, UU Paket Politik harus bisa menempatkan uang (financing) dalam ruang politik secara proporsional. Caranya, kita bisa memberikan insentif atau kompensasi yang jelas dan transparan kepada lembaga atau person yang memberikan dana pada partai politik. Kompensasi itu bisa berupa potongan pajak atau keringanan lain yang secara nyata sudah diatur dalam undang-undang.
Anda sudah melihat efektivitas audit dana partai?
Belum. Selama ini, undang-undang kita hanya mengatur aspek pendapatan partai, tidak menjangkau wilayah pengeluaran parpol. Aturan sekarang ini tidak memiliki prinsip untuk menaklukkan para pelaku politik. Sebab, aturan sekarang sangat mudah untuk disiasati para investor politik. Misalnya, jika sumbangan dari orang atau perusahaan dibatasi, mereka tetap bisa menyiasati aturan itu dengan mencairkan dana sumbangan bagi parpol secara gradual dengan menggunakan tangan atau pihak yang berbeda-beda. Tata cara semacam itu tetap memberikan ruang besar bagi para penyumbang untuk memengaruhi arah agenda politik kepartaian. Jadi, selama ini kita hanya memegang aturan etalase yang abstrak.
Lalu bagaimana caranya?
Kita jangan mengatur sisi pendapatan partai saja. Karena selain mengauditnya susah, manipulasinya gampang. Misalnya dalam berpolitik, momentum paling mahal adalah saat kampanye. Kampanye harus diaudit dalam sisi pengeluarannya juga. Misalnya, dengan menetapkan batasan biaya maksimal bagi seseorang untuk memperebutkan jabatan politik tertentu. Ambil contoh untuk menjadi bupati, biaya maksimal kampanye dibatasi Rp 5 miliar. Dengan begitu, peluang kubu yang kaya raya tidak jauh berbeda dengan peluang pihak lain yang memiliki kekuatan finansial biasa-biasa saja. Itu bisa menekan otoritas kekuatan uang dalam politik. Kalau tidak ada regulasi seperti itu, selamanya arus politik akan ditentukan pemilik uang.
Padahal, “si kaya bukan penentu republik ini”. Prinsip aturan itu bisa masuk ke dalam pasal-pasal turunan di beberapa undang-undang bidang politik. (Ahmad Khoirul Umam)
Anis Baswedan
Lahir : Kuningan, 7 Mei 1969
Istri : Fery Farhati Ganis
Anak :
” Mutiara Annisa
” Mikail Azizi
” Kaisar Hakam
Pendidikan :
1. Program Doktoral di Department of Political Science, Illinois, USA
2. Program Master di School of Public Policy di University of Maryland, USA
3. Program Sarjana di Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta
4. Asian Studies, Sophia University, Tokyo, Japan (1993)
Karya Ilmiah :
1. Political Islam In Indonesia: Present and Future Trajectory, diterbitkan University of California di Berkeley pada November 2004
2. Menulis berbagai artikel opini di media massa di Indonesia.
Penghargaan :
1. The 2004 Gerald Maryanov Fellow, Northern Illinois University
2. ICF Scholarship, New York (1999-2003)
3. William P Cole III Fellowship (1998)
4. Fulbright Scholarship (1997-1998)
5. Asean Student Award Program (1998)
6. JAL Scholarship (1993)
Kerja :
1. Direktur penelitian di The Indonesian Institute (2005 sampai sekarang)
2. Peneliti utama di The Indonesia Survey Institute (LSI) pada 2005 hingga sekarang
3. Penasihat bidang desentralisasi dan otonomi daerah pada Partnership for Governance Reform, Jakarta (2006 sekarang)
Aktivitas Sosial
1. Pengurus Yayasan Paramadina, Jakarta
2. Pengurus Yayasan Rahmatan Lilalamin, Jakarta
3. Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta (1992-1993)
18/03/2007
http://www.lsi.or.id/liputan/213/politik-indonesia-sudah-liberal

politik
No comments:
Post a Comment